Sebetulnya sah-sah saja ide kembali ke standar emas sbg nilai penukaran. Toh bangsa2 di dunia ini telah menggunakannya selama ribuan tahun. Hanya 60-80 tahun terakhir saja sistem fiat berlaku. Penolakan standar emas diawali oleh inggris (yg. cadangan emasnya hampir habis untuk biaya perang dunia I dan II), lalu diikuti AS dan Jerman (yg. juga kepepet, gara2 cadangan emas mereka habis buat biaya PD II).
Ide standar emas dinar sebetulnya sempat juga dicetuskan oleh PM Malaysia, Mahathir Mohammad, di th 2000'an. Cuma sayangnya tidak terealisasi. Mantan kepala bank sentral AS, Greenspan, pun mendukung ide kembali ke standar emas (meski sebelumnya sempat menolak). Secara umum, ide ini dianut sejumlah ekonom Austria.
Memang betul tidak gampang mencetak uang kertas, tetapi bermain-main dg. nilainya mudah dilakukan (kecuali untuk beberapa negara, misalnya Nigeria kalau tidak salah. Ada foto2 orang makan ke restoran saja harus bawa uang satu becak!). Di AS, pemerintah federal saat ini "mengobral" surat obligasi (government bond) tanpa fondasi kuat (misalnya dengan emas). Dengan nerace defisit yang sdh di garis merah, bagaimana negeri itu dapat membayar hutangnya? Contoh lain, beberapa kali devaluasi yg. dilakukan rejim Soeharto.
Mencetak uang tanpa kontrol tentu akan menyebabkan inflasi parah. Ketika jumlah uang yg. berputar dalam ekonomi berlebihan, nilainya akan turun. Banknotes sendiri tidak ada nilainya (hanya kertas). Yg. menentukan kan tentu pemerintah. Tentu kita akan bertanya-tanya, standar apa yg. digunakan pemerintah dalam memberikan nilai pada suatu uang kertas (dan tentu bukan dengan menambahi/mengurangi nolnya).
Akan menarik menganalisa implikasi dan dampak kembalinya emas sbg. standar dalam ekonomi (yg. kemungkinan besar ditentang oleh IMF).
No comments:
Post a Comment