Keberadaan teknologi informasi (TI) yang mampu menembus ruang dan
waktu, ternyata tidak disia-siakan oleh berbagai pihak, termasuk
para TKI maya atau remote worker dan TKI nyata yang memang
bergelut di bidang TI. Pihak "pendukung" pun ikut bersemangat
menggarap bidang yang satu ini.
Namanya Dini Rahma Shanti dan Sinta Defita Sari. Keduanya
adalah wanita Indonesia yang begitu memanfaatkan teknologi
informasi pada era new economy untuk menggali ilmu dan
meraup rezeki. Ladang kerja mereka sama-sama ada di luar negeri,
USA dan Inggris. Hanya perbedaannya, kalau Dini dipekerjakan
dari rumahnya sebagai remote worker di kawasan Cilandak, Jakarta
Selatan, dan hasil pekerjaannya saat itu juga sampai ke
negeri Paman Sam, sedangkan Sinta (harus) mengembara ke
Inggris.
Dua fenomena ini, baik pekerja yang online seperti yang
dialami Dini maupun offline seperti halnya Sinta, bagi sebagian
(besar) orang dijadikan salah satu bukti bahwa sumber daya
manusia Indonesia bisa menembus wilayah yang katanya susah
dimasuki oleh ras berwarna kulit sawo matang seperti Indonesia.
Ini sekaligus memberikan gambaran pada dunia luar bahwa di
tengah dunia melihat sinis terhadap Indonesia yang banyak terjadi
pelanggaran HAM seperti halnya di Aceh, Sampit dan daerah lain,
atau dunia melihat miring terhadap benturan kepentingan di
tingkat elite politik yang tak kunjung reda, atau juga melihat
sebelah mata terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang kadang
merugikan kalangan bawah, masih ada yang mengharumkan nama
Indonesia melalui manusia seperti Dini dan Sinta.
Remote Worker
Pemanfaatan internet untuk meraup rezeki dan ilmu ternyata
tidak hanya dilakukan oleh Dini. Setidaknya, menurut
pantauan Warta Ekonomi, para tenaga kerja Indonesia (TKI) maya
ini jumlahnya relatif banyak. Menurut Dini, yang saat ini
menjadi organisator (organizer) para remote worker, paling tidak
ada sekitar 200 orang lebih yang menjadi kliennya. "Yang kerja
part time ada sekitar 200 orang. Mereka rata-rata kalangan
mahasiswa yang ada di Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya dan
beberapa kota lainnya," ujarnya.
Uniknya, dari 200 orang lebih ini, menurut Dini, semuanya
masuk secara tak sengaja. Artinya, hanya dari sekadar iseng-
iseng melakukan lamaran melalui internet, atau chatting dengan
kemampuan yang pas-pasan, mereka akhirnya tercebur dan
menikmati pekerjaan ini.
Contohnya pengalaman yang dialami sendiri oleh Dini.
Berawal dari iseng dan ingin membuktikan kemampuannya yang
terbatas dan apa adanya di internet, ternyata membawa Dini ke
nasib mujur sehingga dia bisa memperoleh proyek yang relatif
banyak. Dengan melakukan pekerjaan secara remote, Dini merasa
tidak meninggalkan tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga.
Dari sekadar bekerja dengan sistem proyek dengan pembayaran
US$7 per jamnya, atau US$300 per proyek--tergantung pada
jenis pekerjaannya--yang biasa dia kerjakan sekitar dua hingga
tiga minggu, akhirnya dia mendapatkan pekerjaan tetap sebagai
organisator para remote worker dengan pendapatan mencapai lebih
dari Rp4 juta tiap bulannya.
Ceritanya pun relatif cukup menarik. Setelah asyik
mendapatkan proyek sebagai remote worker hingga lebih dari lima
perusahaan yang ada di USA dan dilaluinya selama hampir satu
tahun, Dini secara tak sengaja mendapatkan tawaran untuk bekerja
lebih serius di sebuah perusahaan yang berdomisili di Jakarta.
"Aku diminta membuatkan web promotion. Aku terima saja,
sekaligus tantangan untuk belajar," tutur anak kedua dari tiga
bersaudara ini.
Kesempatan mendapatkan tawaran pekerjaan tetap dengan
virtual office ini pun sebenarnya hampir pupus. Pasalnya,
setelah ia aplikasikan, jawabannya pun tak kunjung tiba. "Aku
e-mail terus dia. Mungkin karena kesal mendapatkan e-mail dari
aku, akhirnya ditanggapi juga. Jadilah kontrak pertama dengan
nilai per proyek sekitar Rp600.000," tuturnya mengenang.
Dutchman Pieter de Vries, CEO digitaldevelopment.com,
perusahaan yang bergerak di bidang web design yang mempekerjakan
Dini, pun merasa cocok.
Karena proyeknya makin banyak, khususnya dari kawasan
Asia, pria berusia 40 tahun berkebangsaan Jerman yang sudah
lama menetap di Indonesia ini mengajak Dini bekerja lebih dari
sekadar remote worker yang bekerja dari satu proyek ke proyek
lainnya. "Dia kirim e-mail, meminta aku menjadi pekerja tetap
di digitadevelopment untuk mengkoordinir para remote worker
dengan memberikan pendapatan tetap secara bulanan, di samping
fee per proyek," ujar Dini. Kesempatan ini pun tidak disia-
siakan.
Setiap ada proyek, sang bos meminta Dini untuk membuka
lowongan sekaligus menyeleksi lamaran yang masuk. Di luar
perkiraan, antusiasme pelamar cukup besar. Setidaknya ada
sekitar 200 orang lebih remote worker yang menjadi klien
digitaldevelopment.com. Setelah sekian lama bekerja dengan
sistem virtual office, Dini baru bertemu dengan bosnya secara
offline. Itu pun tanpa sengaja karena lokasi tempat tinggalnya
hanya ratusan meter jaraknya.
Selaku organisator terhadap sekitar 200 remote worker,
dengan pengalaman yang dimilikinya, Dini harus melakukan
negosiasi dengan para remote worker. "Ketika proyek ini bisa
dikerjakan selama 50 jam, dan si remote worker meminta 75 jam,
kami coba lakukan negosiasi," ujar ibu yang berdomisili di USA
sejak kelas 3 SMA hingga lulus dari sebuah perguruan tinggi
pada 1994 ini. Baginya, sebagai jembatan antara para remote
worker dan Dutchman Pieter de Vries, sang CEO, dirinya mencoba
melakukan yang terbaik untuk kedua pihak. Bagi Dini,
ditinggalkan oleh para remote worker berarti kerugian yang
dideritanya tidak sedikit (lihat wawancara khusus dengan Dini).
Dini tidak menampik bahwa jika dibandingkan dengan remote
worker dari negara lain, justru para remote worker Indonesia
dibayar lebih murah. Menurut pengakuan Dini, sang bos, Dutchman
Pieter de Vries, memilih mencari para remote worker dari
Indonesia karena memang walau dibayar murah tetap mau. Namun,
hal ini ditepis oleh Sam Darma Putra, remote worker lain yang
bekerja pada suatu perusahaan di Australia. Menurutnya, kesan
pekerja Indonesia digaji rendah bisa terjadi pada yang bekerja
secara offline, bukan remote. Kalau remote worker, menurut Sam,
semuanya serba terbuka antar-worker dari masing-masing negara,
termasuk soal pendapatan atau sistem pembayarannya. "Jadi,
untuk teleworker pasti sama, tidak ada diskriminasi," ujar Sam.
Hampir sama pengalamannya dengan Dini yang tidak ingin
berpisah dengan buah hatinya, Gunardi melakukan pekerjaan sebagai
programer dengan sistem remote worker disebabkan alasan ingin
selalu dekat dengan sang anak. Di samping itu, ia memang ingin
menambah penghasilan bulanannya di luar sebagai seorang programer
di sebuah perusahaan ISP (internet service provider) yang ada
di Bandung dengan gaji bulanan Rp2,5 juta.
Menjadi seorang remote worker selama beberapa tahun
menjadikan posisi Gunardi makin lama makin mantap. Keputusan
melepas pekerjaan tetap di perusahaan awal pun diambil. Dari
sisi pendapatan makin lama makin bertambah. Dengan pendapatan
awal sekitar US$10 per jamnya, setelah sekian lama akhirnya
Gunardi bisa mengantongi upah sekitar US$5.000 per bulan. Belum
lagi dihitung nilai bisa berkumpul dengan buah hatinya.
Proses mencapai pendapatan hingga US$5.000 per bulan, di
satu sisi bisa dikatakan sebagai suatu ketidaksengajaan. Namun
di sisi lain, ini adalah bukti keseriusan Gunardi dalam
menyandang status sebagai remote worker. Artinya, tanpa
keseriusan, Gunardi tidak akan mendapatkan kesempatan menemukan
ketidaksengajaan ini.
"Awalnya saya diminta membuatkan sebuah program oleh seorang
teman yang ada di AS secara gratis. Ini pun saya kenal di
internet dari sebuah milis," tutur pria 30 tahun ini.
Permintaan temannya ini pun tidak begitu saja ditolak. Hanya,
ada satu syarat: nama Gunardi disebutkan.
Berkat hasil pekerjaan Gunardi, ternyata, lagi-lagi secara
tak sengaja, ada yang mengontaknya untuk membuatkan program yang
hampir sama. Hanya, kali itu tidak gratis lagi. Setelah sekian
lama menjadi remote worker di perusahaan itu, yakni Z-engine,
sebuah perusahaan yang bergerak di bidang mobile commerce,
Gunardi diminta lebih serius.
"Saya dipanggil untuk mengikuti training di AS selama tiga
minggu," ujar alumnus teknik informatika ITB tahun 1995 ini.
Kesempatan mengikuti training selama tiga minggu itu tidak ia
sia-siakan. Dari sini Gunardi makin mantap menikmati pekerjaan
yang semitetap ini. Pada saat-saat tertentu, Gunardi kadang
membantu melakukan beberapa hal yang dirasa membutuhkan
tenaganya untuk perusahaan awal tempat ia pertama bekerja dengan
gaji US$10 tiap jamnya.
Pengalaman adik angkatan Gunardi, yakni Sam Darma Putra
Ginting atau yang lebih akrab dipanggil Sam, sebagai remote
worker pun tak kalah menarik dan uniknya. Berawal dari suka main
internet dan chatting dengan temannya yang ada di Australia,
pada 1998 Sam ditawari bekerja secara jarak jauh. Sam pun
melalui tahapan wawancara via e-mail dan IRC. "Saya ditanya
skill saya apa saja, dan setelah melalui tahapan tes, akhirnya
saya diterima. Setelah tugas pertama saya selesai, mereka
mentransfer dana yang memang harus saya dapatkan. Pekerjaan saya
berlanjut selama enam bulan," ujarnya.
Berbeda dengan Dini dan Gunardi yang pekerjaan awalnya
sebagai remote worker murni, dalam arti sebagai freelance, Sam,
walau ini diakui sebagai pengalaman pertama menjadi remote
worker di sebuah perusahaan Australia bernama Byronics, dia
dibayar bukan berdasarkan proyek tetapi secara bulanan. "Per
bulan saya di gaji Aus$300," katanya. Hanya, karena sistem gaji
bulanan seperti ini menjadikan Sam tidak bebas untuk melakukan
proyek lainnya di luar Byronics, dalam waktu enam bulan Sam pun
memutuskan untuk berhenti.
Bagi Sam, sebagian teman-temannya mungkin menjadi remote
worker lebih pada making money, tetapi dirinya merasa remote
worker adalah sarana untuk mendapatkan pengalaman. "Dari sana
kemudian kami punya kompetensi sehingga kami siap untuk
berkompetisi," tuturnya memberikan alasan. Dasar ini pula
yang menjadikan pria berusia 25 tahun asal Medan ini
mengandalkan sebuah jaringan bersama rekan-rekannya.
Jangan heran kalau kemudian--walau berhenti bekerja sebagai
remote worker di Byronics--alumnus ITB ini mendapatkan proyek
lainnya secara remote. Tidak hanya itu, pekerjaan tetapnya di PT
Apliknusa LintasArta, dan menjadi CTO (chief technology officer)
Subak Solusi Teknologi Informasi serta menjadi dosen
komputer di Perbanas tetap disandingnya, tanpa meninggalkan
berbagai proyek secara remote yang terus memintanya dengan
nilai pendapatan sekitar US$200 tiap minggunya.
Berbeda dengan Dini, Gunardi dan Sam, yang sekian lama
masih menikmati statusnya sebagai remote worker dan masih
bertahan dengan model kerja yang demikian, salah satu remote
worker lain yang pernah menjadi klien Dini di Digital
Development.com justru berbeda. Purnomo, pria berusia 23 tahun
alumnus STT Telkom Bandung, justru menghentikan pekerjaan maya
yang relatif santai ini.
Apa pasalnya? "Saat itu saya ingin mendirikan perusahaan
bersama teman-teman," kenangnya. Purnomo mengaku setidaknya
selama delapan bulan ia menjalani pekerjaan sebagai software
development secara jarak jauh dari sebuah tempat kostnya di
Bandung, di samping menyelesaikan studinya. Namun, ternyata niat
mendirikan usaha itu tidak lama bertahan. Enam bulan kemudian,
Purnomo memutuskan kerja secara offline di sebuah perusahaan di
Jakarta.
Bagi Purnomo, pengalaman di dua tempat, baik ketika
bekerja sebagai remote worker maupun saat dia bekerja bersama
teman-temannya ada banyak hal yang berbeda. "Sebagai remote
worker, saya dibayar Rp25.000-Rp40.000 per jam. Saya tidak
harus bingung mencari klien, semuanya dilakukan oleh pihak
Digital Development. Di perusahaan yang dirintis bersama teman-
teman, saya dituntut mencari klien sendiri," katanya
membandingkan.
Menurut pengakuan Purnomo, secara pendapatan, dirinya
memperoleh nilai yang lebih besar ketika menjadi remote worker
dibandingkan dengan sebagai sistem integrator di perusahaan yang
ia bangun bersama teman-temannya. "Dari segi pendapatan,
mungkin lebih tinggi kerja dengan sistem remote worker. Namun
kan kebanggaan mempunyai usaha sendiri berbeda," ujarnya.
Pengalaman Cokorda Raka Angga Janunuraga atau yang akrab
dipanggil Raka dan Elfan Nofiari sebagai remote worker punya
kenangan sendiri yang, bagi mereka, tak begitu saja bisa
dilupakan. Bermula dari sekadar mengisi aplikasi kemampuan
mereka di sebuah sertifikasi internasional di internet, hingga
munculnya e-mail secara mendadak yang menawarkan pekerjaan
secara remote, adalah sebuah tantangan sekaligus kebanggaan bagi
mereka.
"Saya ingat sekali ketika tiba-tiba ada e-mail masuk
menawarkan pekerjaan sebagai remote worker," ujar Raka. Bekerja
dengan kemampuan yang dimilikinya, yakni program Java, pada
sebuah perusahaan online di USA yang bergerak pada perbandingan
harga dengan pendapatan awal US$5 per jam, bagi Raka yang
berstatus mahasiswa adalah sebuah rezeki besar. Apalagi setelah
beberapa lama, perusahaannya puas dengan kinerjanya sehingga
pendapatannya pun dinaikkan menjadi US$10 per jam.
"Di perusahaan ini kita kerja secara tim," kata Elfan,
pria berusia 24 tahun asal Bandung. Kerja tim ini pula
yang memberikan arti bagi meraka. Artinya, kerja tim ini, yang
kebanyakan diisi oleh para remote worker dari Rusia, Rumania dan
beberapa negara Eropa lainnya, memberikan arti tersendiri bagi
Elfan dan Raka.
Dari sini mereka bermitra dan sekaligus berkompetisi secara
global. "Dari sana, baik melalui supervisor kami maupun dalam
pendangan kami sendiri, kami tahu siapa yang jago dan siapa yang
tidak," ujar Raka yang sampai saat ini masih berstatus
mahasiwa Teknik Elektro ITB angkatan 1996. Dari sanalah Raka
dan Elfan terpacu untuk bisa seperti mereka atau bahkan Raka
dan Elfan merasa bangga karena diri meraka bisa lebih dari para
kompetitor mereka yang ada di negara lain. "Apalagi kalau di
tingkat usia bisa dikatakan kami yang paling muda, di bawah
umur 25 tahun. Sementara yang dari Eropa, di samping usianya
lebih dari kami, mereka juga menjadikan pekerjaan ini sebagai
pekerjaan utamanya, bukan sampingan seperti kami," tutur Elfan.
Seperti yang dituturkan di atas, para remote worker
yang rata-rata usianya di bawah 30 tahun ini memiliki sebab-
sebab tersendiri sehingga akhirnya mereka tercebur atau
menceburkan diri bekerja sebagai TKI maya. Terlepas dari
alasannya apa, yang jelas keberadaan internet dan kemampuan
otak serta skill mereka memberikan nilai plus bagi dirinya.
"Aku tidak membayangkan kalau harus berangkat kantor jam
07.00 dan harus sampai rumah jam 18.00, sementara dua anakku
aku tinggalkan. Mungkin aku kerja tidak maksimal," ujar Dini.
Bagi Dini, sebagai remote worker, dia masih bisa melakukan
aktivitas kesehariannya sebagai seorang ibu rumah tangga. Hal
seperti ini pun ternyata terjadi pada ibu-ibu rumah tangga di
Jepang.
Menurut Dini, ketika dia duduk di bangku SMA ketika ada di
USA, dirinya sering membaca artikel tentang fenomena yang
terjadi pada ibu-ibu rumah tangga di Jepang yang melakukan sistem
pengauditan, atau pekerjaan apa saja yang dilakukan secara
remote. Saat ini pun, ketika dia menjadi ibu rumah tangga, dia
juga melakukan aktivitas yang serupa. "Seandainya saja ibu-
ibu rumah tangga Indonesia banyak yang melakukan aktivitas
seperti ini, di samping menjadikan dirinya mandiri, juga bisa
memberikan devisa pada negara," kata Dini dengan mengimbau
agar perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia memperbanyak
porsi untuk remote worker, khususnya untuk "pasar" ibu-ibu rumah
tangga.
Dalam pandangan Dini, kemampuan orang Indonesia dalam
menerapkan berbagai aplikasi yang bisa laku di dunia luar memang
tidak bisa dianggap enteng lagi. Bahkan menurut Dini, orang
seperti bosnya adalah orang yang punya kemampuan seperti halnya
Gunardi. "Gunardi sebenarnya bisa seperti bosku. Ordernya
banyak, lantas dia pekerjakan kepada orang lain secara remote,"
kata Dini.
Hanya, model kerja remote yang sistem proyeknya berdasarkan
pesanan dan mengandalkan internet, tidak selamanya mudah dan
enak. Kondisi infrastruktur, baik komputernya maupun
infrastruktur line untuk koneksi ke internet, menjadi
faktor pendukung terhadap kinerja, termasuk harus menyesuaikan
dengan deadline yang ditentukan oleh pihak klien. Di sisi lain,
sebagai pekerjaan tidak tetap, dengan mengandalkan pada proyek
yang ada, kadang perhitungan pendapatannya pun tidak tetap
pula. Akibatnya, kebanyakan remote worker yang dihubungi Warta
Ekonomi maupun berdasarkan pengakuan dari Dini sebagai
organisator remote worker, tidak ada yang menjadikan remote
worker ini sebagai pekerjaan tetap. "Sebagian besar dari mereka
masih berstatus mahasiswa," ujar Dini.
Offline
Pengalaman Dini, Gunardi, Sam dan beberapa remote worker
di atas, sekali lagi memberikan gambaran kepada kita, juga
kepada dunia bahwa dengan teknologi informasi, baik sebagai
sarana untuk bekerja maupun objek dari pekerjaannya itu sendiri,
membuktikan bahwa SDM kita bisa menembus dunia luar secara
remote. Bagaimana dengan liku-liku SDM TI kita yang bekerja
secara offline di luar negeri seperti halnya Shinta dan
beberapa rekannya yang lain?
Beberapa TKI TI yang dihubungi oleh Warta Ekonomi cukup
beragam dalam memberikan komentarnya. Beberapa di antara
mereka prosesnya hampir sama dengan para remote worker. Dari
sebatas iseng mencari pekerjaan melalui internet dan melakukan
proses seleksi secara maya pula, akhirnya mereka mendapatkan
pekerjaan tetap di belahan dunia lain secara offline. Perbedaan
keduanya hanya ada atau tidaknya fisik mereka, walau secara
riil pekerjaan atau otak mereka mampu menembus dunia global.
Lihat saja pengalaman Muhammad Lutfi. Setelah bekerja di
berbagai perusahaan bonafide di Indonesia, pria alumnus ITB ini
mencoba hunting job lewat internet. Setelah menemukan pekerjaan
yang pas dengan yang dia inginkan, Lutfi, begitu ia akrab
disapa, mendapat panggilan ke Pataluna, AS untuk melakukan
interviu. Hasilnya pun tidak mengecewakan.
Melamar melalui internet, ternyata juga dialami oleh Mohamad
Daniar sekitar tahun 1998 hingga 1999 yang kemudian menjadikan
dirinya sebagai software development engineer di Alcatel, USA.
Belum puas dengan pekerjaan tersebut, Daniar pun berpindah ke dua
perusahaan lainnya, Telequent Communication Corp dan Aspect
Communication hingga saat ini. Posisinya pun berubah
menjadi senior software development engineer. "Di dua perusahaan
terakhir saya dapatkan melalui headhunters," ujarnya melalui e-
mail kepada Warta Ekonomi.
Bagi Daniar, alasan pindah kerja ternyata bukan disebabkan
oleh pendapatan. Daniar mengaku dirinya ingin menguji
kualifikasi, mencari ilmu dan pengalaman.
Namun, kalau melihat riwayat kerjanya, tampaknya yang
dicari Daniar adalah sistem gaji. Bagaimana tidak, sewaktu dia
bekerja di sebuah perusahaan di Bandung tahun 1998 sebagai
software developer, nilai gajinya hanya Rp1 juta/bulan dengan
pengalaman kerja dua tahun. Saat ini, dengan pengalaman
kerja lima tahun, Daniar mendapatkan gaji US$60-80 ribu per
tahun (belum dipotong pajak). "Di samping itu, saya masih ada
kesempatan belajar dan mendapatkan beasiswa seperti yang saya
alami untuk program S2 ketika bekerja di Alcatel. Saya juga
dapatkan stock option serta tunjangan yang lain," ujar Daniar.
Berbeda dengan Lutfi dan Daniar, Sinta Defita Sari dan Elfan
yang berasal dari satu almamater, dengan pengalaman yang
relatif minim, mampu menembus perusahaan multinasional yang
berkedudukan di Inggris tidak melalui sarana internet.
Menurut Sinta, selepas dari studinya pada Jurusan Teknik Elektro
Universitas Indonesia (UI) Februari tahun lalu, dirinya sempat
bekerja di sebuah bank asing selama tiga bulan dengan gaji
relatif tinggi untuk ukuran fresh graduate, yakni Rp3 juta per
bulan.
Mendengar informasi bahwa kampusnya membuka kesempatan
berkarier sebagai konsultan TI pada Schlumberger World Wide
Inggris, Sinta tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Setelah
melalui tahapan tes yang begitu rumit, panjang, berbelit dan
lama, akhirnya Sinta lolos dan bisa bekerja di perusahaan
multinasional tersebut. Walau enggan menyebutkan berapa
pendapatannya di negeri aristokrat itu, Sinta menuturkan bahwa
gaji yang diterima jauh lebih besar dibandingkan dengan gaji
sebelumnya. Belum lagi kalau dikurs ke rupiah. "Tapi biaya
hidup di sini lebih tinggi," ujarnya.
Selaku TKI perempuan yang berasal dari Indonesia, Sinta
mengaku kinerjanya tidaklah mengecewakan pihak perusahaan. "Ini
ditandai dengan hampir tidak ada complain dari perusahaan
kepada saya," ujarnya. Sebagai satu dari dua "wakil" Indonesia
di perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 60.000 pekerja
dari 145 negara, Sinta pun merasa mampu bekerja sama dengan tim
yang berasal dari berbagai negara seperti Thailand, AS,
Perancis, Maroko, Malaysia, India, Portugal, dan Kolombia.
"Saya punya skill tertentu dan mereka juga. Jadilah kami
satu tim," ujarnya ketika ditanya soal kompetisinya dengan
"wakil" dari negara lainnya. Di mata Elfan, sebagai pekerjaan
pertama yang dia alami setelah menyelesaikan studi, pekerjaan di
Inggris ini cukup memberikan kepuasan bagi manajernya. "Minimal
tidak ada tanggapan negatif dari atasan. Sementara untuk
kerja tim, hampir selalu bisa melebihi target," ujarnya.
Satu hal yang menjadikan Sinta merasa enjoy dengan
pekerjaannya, walau sering mengalami homesick, adalah budaya
kerja yang tercipta di lingkungan perusahaannya. Salah satunya
adalah budaya kerja yang menuntut tenaga kerja di sana
menjadi hard worker, kreatif dan independen. Reward-nya pun
jelas. "Bos kami benar-benar memberikan apresiasi ketika kita
melakukan sesuatu yang lebih. Setiap kuartal ada penghargaan
berupa hadiah dan uang bagi pekerja keras yang direkomendasikan
oleh para manajernya. Hukumannya pun tak kalah hebatnya, walau
sebatas teguran, tetapi bikin saya pusing dan tidak enak badan
seharian," kata Sinta.
Pendukung
....
SALIM SHAHAB, D. RUSDIANTO ERAWAN, FERRYANDI RAHADYAN, AHMAD
ADHITO HATANTO DAN SLAMET SUPRIYADI
|