Wednesday, May 14, 2008

Kota Tambal Sulam

Setelah mengamati perkembangan kota Jakarta lewat video2 di YouTube, nampaknya jakarta yang dulunya indah kini makin tidak karu-karuan dalam hal tata-kota. Setiap pojok terlihat mall yang semata-mata proyek swasta berorientasi profit. Penduduknya berduyun-duyun mencari hiburan dengan mengunjungi mall-mall (padahal cuma sekedar cuci-mata, makan-makan atau lihat-lihat barang saja).

Dari segi lalu-lintas, ini semakin parah. Kemacetan dimana-mana. Tidak ada ketertiban dalam mengendara. Semua mau enak sendiri. Ameniti (fasilitas kota), kalau pun ada, hanya di tempat-tempat tertentu dan itu pun umumnya dibangun developer properti swasta sebagian dari plan mereka membangun kompleks mal, shopping center atau apartemen mewah. Ameniti dari pemerintah sangat minim, kecuali di sekitar daerah kantor-kantor pemerintahan (Monas).

Kualitas air ledeng (tidak bisa disebut air minum, karena memang tidak layak diminum) menyedihkan. Tekanan air ke rumah-rumah sangat lemah sehingga banyak penduduk yang memasang pompa listrik untuk menarik air dari pipa PDAM atau memasang pompa air sumur tanah. Tidak saja perumahan, bahkan perkantoran dan hotel-hotel pun menghisap air dalam, sehingga resapan air laut makin jauh menuju selatan Jakarta (rasa air sumurnya terasa payau karena mengandung garam kadar lebih tinggi dibandingkan kadar layak air minum).

Faktor keselamatan dalam pembangunan gedung juga tidak jelas. Kalaupun ada 'building code' ini, hampir tidak ada yang mengikuti. Hydrant hampir semua tidak bekerja (tidak/sedikit keluar air atau karat sehingga tidak dapat dibuka). Jika terjadi kebakaran, pemadam kebakaran harus menyedot dari air kali (yang tidak dapat dibayangkan betapa kotornya). Tidak ada zona larangan parkir merah di trotoar2, yang diperlukan agar mobil pemadam kebakaran dapat merapat sedekat mungkin di tempat kejadian. Jarang terjadi "fire drill".

Yang lebih menyedihkan, gaya hidup orang-orangnya. Sebagian kecil "petantang-petenteng" dengan segala glamornya kemana-mana , seakan-akan mereka hidup di Beverly-Hills atau Manhattan. Sebagian berpacu agar seperti para orang kaya glamor tersebut. Mereka berkejaran dengan gaya hidup borjuis dengan mengunjungi shopping center, mega-store, restoran-restoran, beli baju bagus ini-itu dan hal-hal hedonisme lainnya. Sebagian lagi hidup di kolong-kolong jembatan, di emper-emper jalan bahkan mengemis ke tengah jalan.

Perpustakaan umum (kalau pun masih ada), sangat minim fasilitas. Isinya buku-buku tua dan usang, itu pun dengan jumlah terbatas. Pengunjungnya hanya segelintir. Kalau dibanding dengan perpustakaan negara-negara maju, perpustakaan Indonesia mungkin 50-100 tahun dibelakang. Misalnya perpustakaan di kota kecil Rohnert Park di California (Amerika Serikita) saja. Perpustakaan itu berbangunan cukup mewah, dengan fasilitas koneksi ethernet (gratis bagi anggota perpustakaan, dan keanggotaan tidak dipungut biaya sepeser pun). Bahkan tersedia wi-fi buat yang ingin nge-browse Internet secara nirkabel. Koleksi bukunya cukup lengkap untuk ukuran kota yang hanya berpenduduk 30 ribuan jiwa. Tersedia interkoneksi perpustakaan tsb. dengan perpustakaan lain di county (sekelas kecamatan) dan anggota dapat memesan buku tersebut agar dikirim ke perpustakaan lokal. Perpustakaan di kota-kota besar seperti Chicago, New York, Boston, San Francisco, atau Seattle bahkan lebih lengkap dari itu.

UU aturan membangun tempat tinggal atau perkantoran hampir tidak ada. Setiap orang seenaknya sendiri membangun rumah, kantor atau mall tanpa mempertimbangkan kelayakan tata-ruang. Pertokoan bersebelahan dengan perumahan, hotel di tengah perumahan, atau perumahan kumuh di sebelah mall. Jarak antar bangunan sangat minim sehingga hanya membentuk gang-gang sangat sempit, sehingga jika terjadi kebakaran, para penduduk sangat sulit untuk menyelamatkan diri. Lagu Iis Suryani, Gang Kelinci, menggambarkan hal ini bahkan belasan atau puluhan tahun yang lalu.

Lalu lintas Jakarta mungkin salah satu yang terparah di dunia. Tidak ada santun di jalan. Semua orang seenaknya memotong jalan. Tidak ada penghargaan terhadap pejalan kaki. Para pejalan kaki pun seenaknya menyeberang tanpa memperhitungkan keselamatan demi menghemat sedikit waktu daripada menyeberang lewat jembatan penyeberangan. Bus-way yang tidak cocok dengan lebar jalan yang sudah tidak layak. Jumlah kendaraan umum melebihi kewajaran dan jumlah penumpang sehingga sopir bertarung di jalan demi mengejar setoran.

Yang paling menyedihkan dan terparah dari semua itu adalah dihancurkan banyak bangunan bersejarah, baik itu peninggalan belanda atau pun di zaman order lama. Banyak gedung-gedung diratakan dengan tanah dan sebagai gantinya didirikan pertokoan, perkantoran, perumahan atau lain-lain. Lenyap sudah nilai sejarah artifak-artifak yang sebetulnya merupakan sumber devisa dan daya tarik turis asing. Para turis tidak tertarik dengan kemodernan kota Jakarta (mereka pun punya, bahkan lebih bagus). Mereka lebih tertarik dengan hal-hal antik dan bersejarah dari Indonesia.

Sudah selayaknya ibukota dipindahkan ke luar jawa.

No comments: