Gilad Atzmon, Al-Qassam, dan Zionisme
Gilad Atzmon (lahir 1963) menulis: ''Jika Anda bertanya-tanya mengapa orang Israel tidak mengetahui sejarah mereka, jawabannya sangat sederhana, mereka tidak pernah diberitahu. Situasi yang mendorong konflik Israel-Palestina tersimpan rapi dalam kultur mereka. Jejak-jejak peradaban Palestina pra-1948 di tanah itu telah dimusnahkan. Tidak saja tentang Nakba, pembersihan etnis penduduk Palestina asli, yang tidak menjadi bagian dari kurikulum Israel, bahkan tidak disebut atau didiskusikan di forum resmi atau akademik mana pun.''
Kesaksian mantan zionis dan angkatan udara Israel ini menjadi sangat penting untuk mengetahui peta mengapa rakyat Israel merasa bahwa merekalah pemilik sah tanah Palestina itu. Padahal, kata Atzmon, tanah itu adalah tanah curian dari pemilik yang sebenarnya: rakyat Palestina.
Atzmon, pemusik papan atas di London, adalah cucu tokoh sayap kanan organisasi teror Irgun, yang telah mengusir dan membantai rakyat Palestina pada tahun-tahun awal pembentukan negara Israel tahun 1948. Tapi setelah mempelajari secara dalam asal-usul negara zionis itu, Atzmon yang juga seorang novelis, dengan kehendak sendiri hijrah ke London tahun 1994. Dari kota inilah ia membeberkan kepalsuan zionisme dan membela hak kemerdekaan Palestina melalui berbagai forum, termasuk media cetak.
Artikel barunya pada awal Januari 2009 dalam ungkapan yang sangat puitis tapi tajam berjudul: ''Living on Borrowed Time in a Stolen Land (Hidup di atas Waktu Pinjaman di Sebuah Tanah Curian)". Kita akan dapat dengan mudah mengakses artikel ini via: http://www.palestinechronicle.com/print_article.php?=14594, karena Atzmon adalah penulis penting pada media cetak The Palestine Chronicle, sebuah media yang menyuarakan hati nurani rakyat Palestina yang tertindas selama lebih dari enam dasa warsa, sejak 1948.
Penulis lain adalah Uri Avnery, mantan anggota Knesset, 85 tahun, tinggal di Tel Aviv. Ia juga tokoh Yahudi yang gigih membela kemerdekaan Palestina dengan konsep dua negara bertetangga: Palestina dan Israel. Avnery tidak pernah percaya bahwa kaum zionis yang selalu didukung Amerika Serikat sungguh-sungguh ingin melihat sebuah negara Palestina merdeka. Itulah sebabnya ia berharap pada Barack Obama untuk mengubah secara fundamental peta buram yang telah menindas rakyat Palestina secara sangat biadab dalam tempo puluhan tahun.
Tentang roket Al-Qassam, Atzmon menulis: ''Bagi saya, tembakan-tembakan Al-Qassam yang secara sporadis mendarat di Sderot dan Ashkelon tidak lebih dari sebuah pesan rakyat Palestina yang terkurung. Pertama, ia adalah sebuah pesan kepada tanah yang dicuri, lapangan-lapangan rumah, dan kebun buah-buahan: 'Bumi kami yang tercinta, kami tak pernah lupa, kami masih berada di sini berjuang untukmu, cepat lebih baik tinimbang terlambat, kami akan kembali, kami akan mulai lagi di mana kami pernah menghentikannya.'
"Tapi juga ia merupakan pesan yang jelas kepada rakyat Israel. 'Kalian ke luar dari sana, di Sderot, Beer Sheva, Ashkelon, Ashdod, Tel Aviv, dan Haifa, apakah kalian menyadari atau tidak, kalian sebenarnya hidup pada sebuah tanah curian. Lebih baik Anda mulai berkemas-kemas karena waktu semakin habis, kalian telah menguras kesabaran kami. Kami, rakyat Palestina, tidak akan kehilangan apa-apa lagi.'
''Setiap pakar Timur Tengah tahu bahwa Hamas dapat merebut Tepi Barat dalam beberapa jam. Memang, kontrol Otoritas Palestina dan Fatah di Tepi Barat sengaja dijaga PPI (Pasukan Pertahanan Israel). Sekali Hamas menguasai Tepi Barat, pusat penduduk Yahudi yang terbesar akan terserah kepada belas kasihan Hamas. Bagi mereka yang gagal melihat, ini akan menjadi akhir bagi Israel Yahudi.
"Mungkin saja berlaku kemudian hari ini, dalam tiga bulan, atau dalam lima tahun. Ini bukanlah masalah 'jika', tetapi lebih merupakan masalah 'waktu'. Pada saat itu, seluruh Israel akan berada dalam jarak tembak Hamas dan Hizbullah. Masyarakat Israel akan hancur, ekonominya runtuh. Harga sebuah vila yang terpisah di Tel Aviv Utara akan sama dengan sebuah gudang di Kiryat Shmone atau Sderot. Di saat sebuah roket memukul Tel Aviv, mimpi zionis menjadi tamat.''
Sepintas lalu, apa yang disampaikan Atzmon seperti mustahil, mengingat kekuatan Hamas sama sekali tidak sebanding dengan kecanggihan persenjataan Israel. Tapi mengapa mereka tidak pernah putus asa untuk melawan dengan segala kelemahan persenjataannya?
Atzmon menjawab: ''Karena bagi rakyat Palestina, Palestina adalah rumah.'' Dengan demikian, di mata mereka, kaum zionis adalah pendatang haram di rumah itu yang harus diusir. Bagaimana hari depan zionisme? Jika sikap kepala batu dan keganasan tetap dipertahankan, menurut Atzmon, zionisme tidak punya masa depan, karena ia gagal menjadi bagian dari kemanusiaan.
Sebagai penutup artikelnya, Atzmon menulis: ''Sekali lagi, orang Yahudi akan harus mengembara menuju sebuah nasib yang tak berpeta. Sampai batas tertentu, saya sendiri telah memulai perjalanan saya belum terlalu lama.''
Ahmad Syafii Maarif
Guru Besar Sejarah, pendiri Maarif Institute
[Perspektif, Gatra Nomor 10 Beredar Kamis, 15 Januari 2009]
No comments:
Post a Comment