Tuesday, April 24, 2007

Kisah Saritem

Nama Saritem memang tidak asing lagi bagi masyarakat terutama masyarakat Jawa Barat. Apalagi bagi pria yang punya hobi bertualang cinta. Bahkan karena informasi dari mulut ke mulut nama Saritem semakin dikenal di sebagian masyarakat yang ada di luar wilayah Jawa Barat.

Selama ratusan tahun Saritem dikenal sebagai tempat para pekerja seks komersial (PSK). Tidak diketahui secara pasti kapan lokasi ini dijadikan ajang bisnis seks. Berdasarkan literatur dan keterangan beberapa tokoh setempat lokasi ini telah berdiri sejak zaman Belanda. "Kalau kata orang tua-tua, Saritem sudah ada sejak tahun 1838," kata Agusman (53), warga RW 09 kepada detikcom.

Dikisahkan nama lokalisasi Saritem erat kaitannya dengan nama gadis belia asal kota kembang Bandung bernama Saritem. Saritem memang berwajah cantik dan berkulit putih. Pesona Saritem ternyata memikat seorang pembesar Belanda kala itu. Kemudian Saritem dijadikan gundiknya. Sejak itulah gadis Saritem menjadi ‘Nyonya Belanda’. Namanya pun berganti menjadi Nyi Saritem.

Beberapa tahun kemudian Saritem disuruh Kompeni mencari wanita untuk dijadikan teman kencan serdadu Belanda yang masih lajang. Waktu itu daerah Gardu Jati dijadikan sebagai tangsi atau markas militer serdadu Belanda. Untuk kegiatan itu Saritem difasilitasi sebuah rumah yang lumayan besar.

Lambat laun perempuan-perempuan yang dikumpulkan Saritem bertambah banyak. Saritem mengumpulkan perempuan-perempuan dari berbagai daerah dari Bandung dan sekitarnya, seperti Cianjur, Sumedang, Garut, dan Indramayu. Sejak itu nama Saritem mulai kesohor. Yang datang ke rumah yang dikelolanya pun bertambah banyak.

Tidak hanya dari kalangan serdadu yang lajang. Serdadu yang lanjut usia pun juga berdatangan ke tempat Saritem. Bahkan beberapa warga pribumi ada juga yang datang. Antusiasme serdadu dan beberapa masyarakat pribumi terhadap tempat memadu kasih ala Saritem.

Hal ini membuat teman-teman Saritem yang juga menjadi gundik tentara Belanda tertarik membuka usaha serupa. Mereka rata-rata perempuan bekas binaan Saritem. Sejak perang kemerdekaan 1945 tangsi militer serdadu Belanda berhasil dikuasai pejuang Republik Indonesia. Namun, bisnis Saritem tidak tersentuh.

Setelah Indonesia merdeka tempat itu semakin banyak saja dikunjungi tamu. Meski Saritem telah tiada toh tetap saja masyarakat mengenal lokasi itu dengan sebutan Saritem. Selanjutnya rumah-rumah penduduk pun berdiri di sekitar lokasi Saritem. Lokasi Saritem berada di tengah-tengah pemukiman penduduk.

Inilah yang membuat warga kala itu tidak menggubris keberadaan lokalisasi Saritem. Pasalnya, lokalisasi itu telah berdiri lebih awal dibanding pemukiman warga. Bahkan kala itu banyak warga dari berbagai daerah membuka pemukiman di sekitar lokalisasi untuk mengais remah-remah dari bisnis seks di Saritem. Tidak hanya itu, banyak di antara warga yang akhirnya ikut-ikutan menjalankan profesi sebagai mucikari.

Akhirnya bisnis tersebut terus dikelola hingga turun temurun. Tidak semua memang warga di sekitar lokasi yang terlibat bisnis tersebut. "Dari seluruh warga di kawasan Saritem yang menjalankan bisnis ini hanya sekitar 30%. Selebihnya warga menjalankan profesi seperti masyarakat pada umumnya," jelas Masnu, Ketua RW 09. Namun, dia tidak menyebutkan secara konkrit berapa jumlah warga di lingkungannya.

Saritem terletak di tengah kota di antara Jln. Gardujati - Jln. Kelenteng. Tepatnya di RW 07 dan RW 09, Kelurahan Kebonjeruk, Kecamatan Andir, Kota Bandung. Lokasinya yang strategis tentunya mengundang masyarakat dari daerah untuk tinggal dan berusaha di kawasan tersebut. Hal inilah yang menjadi alasan Masnu kesulitan untuk mendapatkan data konkrit tentang jumlah warganya.

Perjalanan Saritem sebagai obyek wisata seks di Bandung kian hari semakin menambah gerah sebagian masyarakat. Berbagai upaya protes dilayangkan kepada aparat terkait. Hanya saja belum berhasil membuat denyut Saritem terhenti.

Upaya penutupan akhirnya dilakukan tahun 1999 saat Walikota Bandung dijabat Aa Tarmana. Hanya saja penutupan itu tidak berjalan lama. Beberapa bulan kemudian bisnis esek-esek kembali berjalan.

Lagi pula uang yang terkumpul dari beragam retribusi baik yang resmi atau tidak resmi jumlahnya lumayan menggiurkan. Dalam sebulan uang yang terkumpul bisa mencapai miliaran rupiah. Uang-uang haram tersebut sebagian besar mengalir ke kantong-kantong pejabat terkait.

Menurut Agus, calo di lokalisasi Saritem, kamar sewa yang ada di rumah-rumah bordil jumlahnya diperkirakan ada 500-an. Biasanya masing-masing kamar dikenai pajak tidak resmi sebesar Rp 10 ribu kepada oknum petugas.

Dalam sehari Saritem memberi kontribusi ilegal sebanyak Rp 5 juta per minggu. Atau Rp 150 juta per bulan kepada oknum petugas. Itu belum pajak-pajak tidak resmi lainnya. Alhasil upaya untuk memberangus tempat maksiat itu semakin mengendur dan lenyap.

Tetapi, lama-kelamaan sebagian masyarakat Bandung semakin risau dengan keberadaan Saritem dan ketidaktegasan aparat. Masyarakat Bandung merasa imej kota kembang Bandung selalu tercemar dengan keberadaan Saritem. Untuk mengubah persepsi sebagai kota esek-esek sebagian masyarakat sepakat memerangi prostitusi, terutama di Saritem.

Saritem boleh saja lolos dari berbagai perang yang terjadi. Termasuk saat peristiwa Bandung lautan api. Tetapi, kini Saritem tidak bisa mengelak dari regulasi Pemkot Bandung. Setelah terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung No. 11/1995 tentang Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan (Perda K3). Adanya Perda ini Saritem tidak bisa mengelak dari hukuman "mati";.

Perda itu mulai efektif berlaku November 2006. Esensi dari Perda tersebut adalah melarang setiap praktik prostitusi di Kota Bandung. Dengan efektifnya Perda K3 ini, mau tidak mau, Saritem pun harus bubar.

Vonis mati terhadap Saritem akhirnya dieksekusi, Rabu (18/4/2007). Sebanyak 73 rumah yang selama ini dijadikan tempat prostitusi disegel. Tidak hanya itu aparat juga berjanji akan terus mengawasi kawasan itu. "Kami akan menyebar petugas di lokasi tersebut paling tidak selama seminggu," kata Kepala Satpol PP Kota Bandung Prianan Wirasaputra.

Tetapi, tetap saja penutupan ini masih dirundung keraguan. Soalnya rumah-rumah bordil itu hanya disegel saja. Tidak dibongkar. Besar kemungkinan para mucikari dan warga akan menghidupkan kembali lokalisasi Saritem. Apalagi warga menduga upaya penutupan Saritem hanya bersifat politis menjelang Pilkada 2008 mendatang.

Bila dugaan itu benar tentu semakin membuka peluang Saritem akan beroperasi lagi. Jadi tidak mustahil selepas pilkada 'grasi' terhadap saritem akan dikeluarkan.

Sunday, April 01, 2007

True Global Warming

Global warning telah menunjukkan tanda-tandanya. Buktinya, terjadi hujan es di Bandung. Selama saya tinggal di Bandung hampir 10 tahun, belum pernah saya mengalami apa yang dinamakan 'hail' ini.

http://foto.detik.com/index.php/home.readfoto/tahun/2007/bulan/04/tgl/01/time/182139/idnews/761447/idkanal/157/id/2

Sungguh mengerikan. Setelah hujan yang tiada hentinya di Jakarta tempo hari, sekarang Bandung mengalami nasib yang hampir sama. Kemarin saya mengais kembali arsip DVD film saya dan menemukan film "The Day After Tomorrow" yang menceritakan dampak dari pemanasan global ini. Majalah Time edisi minggu ini juga menceritakan makin seriusnya global warming ini.

Sampai kapan kita akan terus terlena dengan tetap membakar fossil dan menghasilkan CO2?